Rabu, 24 Oktober 2012

taman ujung

                         TAMAN UJUNG 

                          

Taman Sukasada sekarang lebih terkenal dengan nama Taman Ujung Karangasem terletak di Dusun Ujung, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Taman ini berjarak sekitar 5 km arah tenggara dari Kota Amlapura. Taman yang dibangun oleh Raja Karangasem: I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem dengan konsep sempurna ini merupakan kebanggaan warga Karangasem karena awalnya memiliki luas hampir 400 hektar, tetapi sekarang hanya sekitar 10 hektar karena tanah tersebut sebagian besar sudah dibagikan kepada masyarakat pada masa landreform. Kepemilikan Taman Ujung ini sekarang sudah diwariskan kepada ahli waris keluarga Puri Karangasem sehingga statusnya menjadi taman milik pribadi tetapi pengunjung umum diperkenankan mengunjungi taman yang tampak megah ini.

Taman Ujung yang merupakan salah satu masterpiece Bali dibangun pada tahun 1909 oleh prakarsa Raja Karangasem Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem dengan melibatkan arsitek Belanda yang bernama van Den Hentz dan seorang arsitektur Cina bernama Loto Ang. Pembangunan Taman Ujung juga banyak melibatkan arsitektur (undagi) tradisional serta mendapat petunjuk dari Mr. Wardodjojo seorang teknisi dari Dinas Pekerjaan Umum. Taman Ujung sebenarnya merupakan pengembangan Kolam Dirah yang telah dibangun lebih awal pada tahun 1901.


Pembangunan Taman Ujung selesai pada tahun 1921, namun pekerjaan pembangunan masih terus dilanjutkan. Tepatnya pada tahun 1937, Taman Sukasada (Taman Ujung) Karangasem diresmikan dengan sebuah ‘mahligya’ yang ditandai dengan sebuah prasasti batu marmer yang ditulis dengan huruf latin dan Bali dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bali. Prasasti tersebut ditempelkan pada salah satu dinding di Bale Warak.


Marmer sebelah kiri yang bertulis huruf latin berjumlah 8 baris berbunyi:

Peringatan
Waktoe kerja
Dewa jadnya
Maligya
Poeri Agung
Kawan Karangasem
Tanggal
6 Agustus 1937

Sedangkan marmer sebelah kanan dengan aksara dan bahasa bali berbunyi

Pekeling daweg rahina karyya dewwa yajna
miwah malighya rin puri agung kawan karanase
m, duk rahina, su, pa, wara prabakat, pan pin
m, sasih, 2, usaka 1859 maka li
nga rin malighya, padhandha ghde ktut karanase
da hanake hangun ghde hanlurah ktut karangase
m raja lombok, miwah hida hanake hagun
ghde jlanthik, jumnen hagun ring karanasem.

Kedua prasasti tersebut menunjukkan bahwa pembangunan selesai pada tanggal 6 Agustus 1937. Hal yang menarik dari kompleks bangunan tersebut yaitu perpaduan tiga unsur budaya yaitu Bali, Belanda, dan Cina sehingga melahirkan kekhasan arsitekturnya. Arsitektur Bali terlihat jelas pada motif dekorasinya berupa cerita-cerita wayang serta motif patra lainnya, arsitektur Belanda terlihat pada bentuk bangunannya yang memiliki gaya indis, dan arsitektur Cina terlihat pada pembuatan gapura masuk, kolam segidelapan, dan Bale Bundar (gasebo).